Not Indonesian?? Translate Here

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Sabtu, 16 Oktober 2010

Perang Israel-Palestina, Islam-Kristen Sama-sama Merugi

Perang Israel-Palestina, Islam-Kristen Sama-sama Merugi

WRITENOW (Kamis 8 Januari): Perang tanding antara Israel dan Palestina sampai hari ini terus berlangsung meskipun ada kesepakatan 'break' tiga jam. Siapa yang menjadi korban? Baik Islam maupun Kristen Palestina, semua menjadi korban Israel. Tapi mengapa yang proaktif mengecam Israel hanya masyarakat Muslim?

Jawaban atas pertanyaan itu menjadi diskusi yang sangat menarik di sejumlah milis. Baskara T Wardaya, Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, di harian Kompas (8 Januari) menulis, mengingat yang menjadi korban adalah semua pihak, tentu aneh bila yang melakukan unjuk rasa mengecam Israel terkait serangan atas Jalur Gaza saat ini hanya warga dari agama tertentu (Islam).

Menurut Baskara, serbuan militer Israel yang oleh banyak pihak disebut sebagai membabibuta itu bukan serbuan dengan motivasi agama, tetapi serbuan dengan motivasi politik dan kesewenang-wenangan kekuasaan.

Banyak orang yang mengatakan dan berkesimpulan seperti itu. Namun faktanya, Israel berambisi untuk kembali menguasai bumi Palestina, karena memegang teguh nubuatan para nabi yang mereka percayai bahwa Palestina adalah tanah air mereka sebagaimana dijanjikan Tuhan (Tanah Perjanjian). Jadi, sampai kapan pun, Israel tetap akan mewarnai "sejarah" Israel-Palestina dengan iman "keyahudian" mereka.

Seorang sahabat milis kemarin (7 Januari) mengirimkan artikel yang ditulis seorang bernama Leonard C.Epafras. Mengawali artikelnya, Epafras mengutip pepatah Hindustan: "Bumi tertawa ketika seseorang mengklaim sebuah tempat sebagai miliknya."

Dalam artikel yang panjang lebar itu, Epafras antara lain menulis, bagi sebagian orang Kristen (terutama penganut mileniarisme atau kerajaan seribu tahun), peristiwa ini (sengketa/konflik/perang antara Israel-Palestina) bisa dianggap sebagai tanda bahwa kedatangan Yesus kedua kalinya sudah semakin dekat.

Kedatangan itu diawali dengan pertempuran bangsa-bangsa di Yerusalem (Armagedon) dan didirikannya kembali Bait Allah Israel (soal detil perwujudannya, ada banyak pendapat di kalangan Kristen). Jadi konflik yang terjadi sekarang, tulis Epafras, diterima sebagai keniscayaan belaka dalam pemenuhan nubuat Alkitab.

Skenario yang hampir serupa juga dimiliki beberapa kelompok Yahudi Ortodoks dan Ultra Ortodoks yang bersikeras untuk segera mendirikan Bait Allah demi menyongsong kedatangan Mesias versi Israel.

Tidak lama sesudah berakhirnya Perang Enam Hari 1967 yang memungkinkan Israel menguasai Yerusalem Timur, Shlomo Goren, seorang perwira Jenderal Moshe Dayan, merasa 'mendengar' tapak kedatangan Mesias. Wangsit ini membawanya pada tanggal 16 Agustus 1967, pada hari Tisha B'Av (hari keagamaan dalam memperingati runtuhnya dua Bait Allah Israel oleh orang Babel dan Romawi), menerobos masuk Haram al-Sharif bersama pengikutnya, melakukan doa dan upacara keagamaan serta bermaksud mendirikan sebuah sinagoge di antara tempat suci Islam (Dome of the Rock dan Mesjid Al-Aqsa).

Menghadapi dua skenario di atas, kaum Muslim Arab pun dengan semangat keagamaan yang sama kuatnya berusaha melindungi kepentingan Islam di seluruh Palestina, Yerusalem Timur, kota tua Yerusalem dan yang terpenting dari semuanya itu, Haram al-Sharif.

Skenario pemecahan persoalan dari sudut agama bagi mereka adalah dengan menjadikan Yerusalem (Timur) seluruhnya sebagai kota Muslim dengan mengevakuasi orang Yahudi dan Kristen (Yerusalem tua sejak dulu telah dibagi menjadi empat 'kampung', yaitu kampung Kristen, kampung Muslim, termasuk Haram al-Sharif, kampung Armenia yang juga Kristen, dan kampung Yahudi).

Hal yang lebih celaka dan memperuwet situasi, menurut Epafras, adalah seluruh isu di atas juga menyerap energi sekalian bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia yang berada 9.000 km dari Israel pun ikut tersedot dalam pertikaian ini melalui demonstrasi-demonstrasi anti-Israel.

Nah, itulah persoalannya, mengapa yang gencar berdemonstrasi hanya masyarakat Indonesia yang mengibarkan 'bendera' Islam, padahal umat Kristen -- terutama warga Kristen Palestina -- juga dirugikan.

Dari segi agama, menurut Baskara dalam artikelnya di Kompas, kebanyakan korban memang warga Muslim, tetapi tidak sedikit warga Kristen yang juga menjadi korban. Sebagaimana kita tahu, banyak orang Palestina memeluk agama Kristen, dan mereka sama-sama menjadi korban kekejaman mesin perang Israel yang dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok Hamas.

Islam-Kristen berdampingan

Berdasarkan sejarah Palestina, generasi demi generasi, mayoritas warga Palestina Muslim dan penduduk Palestina Kristen hidup berdampingan secara damai. Mereka mencintai tanah air yang sama, mereka memiliki cita-cita nasional yang sama pula. Keduanya sama-sama memimpikan kehidupan yang aman dan damai sebagai bangsa yang majemuk.

Di tengah kejinya penindasan Israel, mereka sama-sama berjuang demi tanah air Palestina yang merdeka, yang adil dan makmur, yang terhormat di antara bangsa-bangsa lain di dunia.

Baskara mencatat, sejumlah orang Kristen Palestina telah menjadi figur-figur yang berdiri di garis depan perjuangan rakyat Palestina, entah itu di ranah politik, sosial, maupun budaya. Sebut saja, misalnya, Emil Habibi, George Habash, Azmi Bishara, dan Hanan Ashrawi yang adalah tokoh-tokoh penting dalam politik Palestina; Elia Suleiman dan Nay Abu-Assad, produser film terkemuka; Raja Shehadeh, penulis dan pakar hukum; atau Raymonda Tawil, aktivis politik yang notabene adalah ibu mertua almarhum Yasser Arafat. Juga intelektual dan aktivis politik Kristen keturunan Palestina yang mati-matian membela Palestina di dunia internasional.

Bagi warga Palestina, dalam memandang satu sama lain, tampaknya yang utama bukan apa agama seseorang, tetapi sejauh mana komitmen orang itu bagi perjuangan bersama demi masa depan Palestina.

Ironisnya, tulis Baskara, justru karena banyak orang Kristen ada di garis depan perjuangan rakyat Palestina itulah Pemerintah Israel sejak 1948 berusaha keras agar orang-orang Kristen ini hengkang dari bumi Palestina dan bermukim di luar negeri saja. Israel sadar, orang-orang Kristen memiliki potensi besar menjadi penghubung perjuangan Palestina dengan dunia luar (ingat, seorang pembela Palestina yang paling konsisten di panggung internasional adalah mendiang Paus Yohanes Paulus II).

Karena itu, diam-diam pemerintah negara itu giat mendorong warga Kristen ini meninggalkan Palestina. Para pemimpin Israel tak keberatan jika dalam serangan kali ini banyak warga Kristen Palestina juga menjadi korban operasi militernya.

Mengingat yang menjadi korban adalah semua pihak, tentu akan aneh bila yang melakukan unjuk rasa mengecam Israel terkait serangan atas Jalur Gaza saat ini hanya warga dari agama tertentu.

Orang Kristen bingung

Sangat mungkin, komunitas Kristen di sini bingung, sebab cerita-cerita dalam Alkitab, kata "Israel" sering disebut. Meskipun bangsa Israel "tegar tengkuk" (sering melanggar perintah Tuhan), para pendeta dalam kotbahnya hampir selalu mengakhiri dengan "happy ending" bahwa bangsa Israel (mengacu kepada Perjanjian Lama) tetap sebagai umat pilihan Allah.

Dalam setiap kotbahnya, para pendeta lebih memilih ayat-ayat Alkitab yang tesktual (historis) daripada kontekstual (folosofis-sosiologis). Fakta ini langsung atau tidak langsung tertanam begitu kuat dalam pikiran bawah sadar orang Kristen bahwa Israel identik dengan Kristen tanpa berusaha memahami dengan kesadaran penuh bahwa orang Israel Yahudi-lah yang sampai sekarang menolak Yesus.

Oleh sebab itu bisa dipahami jika masyarakat Kristen di Indonesia bersikap lebih baik diam daripada melakukan sesuatu tapi bisa ditafsirkan macam-macam. Dalam milis yang saya ikuti, ajakan untuk ikut mengecam Israel pun memunculkan pendapat pro dan kontra.

Guna memberikan pandangan objektif dan positif tentang kasus Israel ini, para anggota milis menyebarkan beberapa artikel. Satu di antaranya adalah artikel yang diambil dari milis Yabina.

Dalam artikel itu ditulis, bagi umat Kristen yang memiliki hubungan batin dengan Israel karena sebagian kitab sucinya sama, memang dapat dimaklumi kalau ada rasa keberpihakan mereka kepada Israel, apa pun yang dilakukan Israel.

Namun peristiwa pengeboman di Gaza bisa menjadi cermin untuk berpikir sejenak, benarkah Israel melakukan kehendak Allah dalam konfliknya di Gaza? Bagaimana sebenarnya sikap otoritas Israel terhadap umat Kristen dan yang percaya Yesus sebagai Messias?

Umat Yahudi sejak lama sering jatuh dalam dosa penyembahan berhala dan ketidaktaatan kepada Allah. Berulangkali Israel dihukum, bahkan dibuang antara lain ke Mesir, berputar-putar selama 40 tahun di padang gurun Sinai, dibuang ke Babel, dan kemudian harus mengalami diaspora, bahkan pada Perang Dunia II mengalami pembantaian etnis (holocaust) di Jerman. Namun umat Israel tidak kunjung bertobat melainkan terus menerus mendukacitakan Allah.

Umat Kristen terjepit

Umat Kristen memang terjepit di antara dua pihak yang berperang. Di satu sisi otoritas Hamas yang membawa-bawa agama Islam juga sering melakukan tindakan tidak bersahabat terhadap umat Kristen, di sisi lain, otoritas Israel yang membawa-bawa agama Yahudi juga sering melakukan tindakan tidak bersahabat terhadap umat Kristen (kecuali terhadap turis Kristen yang mendatangkan devisa).

Kekristenan, menurut artikel itu, tidak bersifat etnis-sentris atau yahudi-sentris yang berorientasi sentripetal (memusat), tetapi kekristenan bersifat Kristosentris yang bersifat sentrifugal (menyebar ke seluruh bumi).

Sehubungan dengan itu umat Kristen perlu merenungkan keperpihakannya kepada Israel selama ini, benarkah ia berpihak kepada kebenaran Allah atau berpihak kepada keangkara-murkaan negara Israel, keberpihakan yang justru makin mengeraskan hati mereka untuk tetap menolak Messias yang telah datang melawat mereka dua ribu tahun yang lalu itu?

Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa kalau dulu Israel dalam holocaust mengalami ethnic cleansing (pembantaian etnis), sebenarnya, sekarang justru Israel-lah yang melakukan ethnic cleansing, yaitu usahanya yang tidak mengenal lelah untuk mengusir orang Palestina dari tanah leluhur mereka. Bukan saja orang Arab Palestina yang beragama Islam yang mengalami hal itu, tetapi umat Arab Palestina yang beragama Kristen juga mengalami penghambatan dari otoritas Israel.

Berkali-kali kelompok radikal Israel dibiarkan mengganggu orang Kristen Arab Palestina, ada yang dikirimi bom, ada yang rumahnya digusur, ada pula yang hak-hak kependudukannya dicabut.

Otoritas Israel sendiri sering menolak orang Arab Palestina beragama Kristen yang sudah keluar dari tanah Israel dan ingin kembali. Hanan Ashrawi, anggota perunding Palestina yang beragama Kristen memiliki putri yang kemudian sekolah di Amerika Serikat, dan ketika si putri menikah dan memiliki anak di sana, dan ingin membawa anaknya menengok neneknya, ia yang adalah penduduk Palestina ditolak kependudukannya dan hanya diberikan visa masuk Israel selama sebulan.

Yang menarik, orang Yahudi sendiri yang beragama Yahudi yang menolak perang dengan Palestina juga sering dilempari batu oleh kaum radikal Israel. Perang Israel Hamas bukanlah perang agama karena sebagian orang Israel sekarang tidak beragama Yahudi melainkan sudah menjadi sekuler. Yang jelas perang di Timur Tengah adalah perang perebutan tanah.

Sadar akan situasi demikian, tulis Baskara di Kompas, seharusnya yang terusik oleh kekejaman Israel bukan hanya warga dari satu agama, tetapi juga dari semua agama, karena semua agama mengajarkan kebajikan dan melawan kejahatan.

Marilah kita terus-menerus berdoa untuk perdamaian di Palestina dan agar Tuhan mendatangkan semangat kasih dan hati yang lemah lembut kepada kedua pihak, baik kepada otoritas Hamas maupun otoritas Israel.

| Free Bussines? |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar